SUDAH tanggal 29 di bulan Juli ini, aku masih bingung mencari harapan. Dua jalan bisu terpampang di hadapanku. Jalan untuk membunuh atau jalan untuk tetap bersamanya. Ditemani matahari yang tak berniat menyinariku. Dan pohon-pohon yang berharap petir datang, merobohkan tubuh mereka agar bisa menimpa diriku dan membunuhku secara perlahan.
“Dia bukan milikmu lagi, lepaskanlah. Untuk sahabatmu sendiri,”
Mira mencoba membuatku tetap tegar. Juga beberapa teman lain, mereka memberiku
semangat. Aku tidak menampakan wajah murung dan sebagainya. Tapi mereka tetap
saja bisa tahu kalau aku sedang pilu. Aku memang lebih menjadi pendiam sejak
beberapa menit lalu. Sejak mendengar berita baru yang menyengat dadaku. Berita
buruk dan membuatku berharap semua itu hanyalah mimpi.
“Yah, jika dia sahabatku, kenapa dia tak pernah cerita kalau dia
akan menjadi pacarnya? Apalagi, berita ini tiba-tiba saja datang. Dan
menyerangku dengan cara yang tragis. Dengan kata, sahabat dan mantan,” itu
pikirku. Aku mulai berpikir lagi, betapa bodohnya aku. Mengapa aku harus
mencari kesalahannya.
“Aku akan menjaganya, lebih dari dulu saat kau yang menjaganya.
Percayakan padaku!” ucapan angin yang tak nyata melewati telingaku. Seolah
menyindir kehidupanku yang tak pernah usai dilanda masalah. Setelah satu
masalah hilang, maka beberapa mulai muncul lagi. Menjamuri perasaan dalam
jiwaku yang semakin kosong dan pudar.
Aku berharap bisa menenangkan diri di belakang kantin sekolah.
Tempat yang dulu menjadi saksi aku dan dia untuk menenangkan diri. Tempat yang
sunyi. Namun di sana, terlihat dua insan yang begitu nyata kukenal. Sahabatku
dan mantanku. Dua orang yang menjadi masalah terbesarku saat ini. Yang
mempersulit hidupku dengan pilihan-pilihan tingkat tinggi.
“Peluklah diriku saat kau membutuhkannya, tamparlah aku saat kau
menginginkannya, dan bunuhlah aku jika kau harus melakukannya. Di neraka, akan
kutanggung semua dosa-dosa itu,” ucap Rena, mantanku pada Toad yang sedang
berdiri tegap berhadapan dengan Rena. Aku tau persis kata-kata itu. Rasanya
begitu indah saat ia ucapkan. Itu adalah kalimatku. Setiap kata, setiap nada, setiap
perasaan yang ia ikrarkan, sama persis dengan dulu saat aku yang ucapkan.
Memandangnya, aku merasa bangga. Aku selalu bangga jika ia memakai
apapun milikku. Atau apapun yang kubuat untuknya. Sekarang ia malah memberikan
pemberian murniku untuk orang lain. Dalam bangga itu, juga tersimpan perasaan
tak pasti. Dendam karena cemburu, serasa ingin membunuh siapapun yang ada
didekatku. Namun tertahan oleh perasaan lain yang juga tak bisa kumengerti. Ada
dua perasaan yang ingin lepas dari dadaku. Antara harus merelakannya, dan
perasaan untuk menghancurkannya.
Aku memutuskan untuk pergi. Di sini, aku bukan hanya terabaikan.
Aku juga direndahkan. Sepanjang lorong-lorong dan penuh suara kemesraan
menyerang batinku. Di pojok ruangan, terdengar beberapa suara mencoba
memanggilku. Empat perempuan yang selama ini juga sering bertukar cerita
denganku. Menatap mereka, aku tak sadar wajahku begitu galau.
“Lepaskanlah di sini. Kami memaklumi apa yang terjadi. Tak apa,
kalau kau ingin menangis,” Mira memegang pundakku. Ia seperti sudah siap
menahanku jika aku akan bersandar memeluk dirinya. Dalam keadaanku sebagai
mahluk tersedih di dunia.
“Aku sendiri tidak tau apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus
menangis, marah, tak peduli atau mungkin akan membunuh mereka. Lagipula, aku
hanya bingung pada satu hal. Mengapa aku harus bingung dengan masalah ini?
Sedangkan hubungan mereka berdua, seharusnya tak akan mempengaruhi hidupku.”
Itulah yang ingin kulepaskan. Mereka menatapku dengan iba. Aku tak ingin
dikasihani. Aku hanya ingin perasaan bodoh ini segera hilang dari kehidupanku.
Dan berhenti menggangguku. Aku bukanlah sasaran untuk disiksa seperti ini. Aku
juga manusia biasa. Yang juga mempunyai harapan dan impian.
“Pilihlah pilihanmu sendiri. Kami tak mungkin memaksamu untuk
memilih. Pilihlah yang paling bijak.” Mira mencoba menghiburku lagi.
****
“Aku ingin meminta restu padamu. Bagaimanapun juga, kau yang
selama ini selalu bercerita padaku tentang Rena. Dari situ, aku tau bahwa kamu
selalu ingin melindungi dirinya dari apapun. Namun kau tak tau caranya. Benar
begitu bukan?” Toad, sahabatku rupanya sudah menyiapkan kata-kata itu. Yang
tersusun rapi dalam nada pekat dan dingin. Aku hanya mampu menatap matanya
dengan sedikit melotot. Aku tidak tau, apa dia berusaha menenangkanku, atau
mengejekku.
“Inilah, cara yang kupersembahkan padamu. Aku adalah sahabatmu.
Sampai kapanpun, akan terus begini. Dan jika kau ingin melindunginya, maka
percayakanlah padaku. Kau bisa mempercayaiku, sobat!” Toad melanjutkan
kalimat-kalimat putihnya, aku merasa haru dengan itu. Belum pernah kudengar
intonasi kejam yang membahagiakan seperti ini.
“Kami datang ke sini untuk restumu. Apakah kau akan merestui
hubungan kami berdua?” Aku sungguh tak percaya dengan kejadian ini. Oke, ini lebih
dari mengagetkan. Mereka meminta restu akan hubungan mereka, padaku.
“Harapanku ada padamu, Toad! Dia pernah menjadi hidupku. Maka
selamanya akan tetap begitu. Jagalah nyawaku, dengan nyawamu Toad! Kau pasti
tau maksudku. Benar bukan, kawan?” aku memberi senyuman pada mereka. Tanda
bahwa kini, sepenuhnya aku telah memilih jalanku. Jalan yang seharusnya telah
lama kupilih.
Oleh Adi Bayu Perkasa
2 komentar:
Wah bagus banget cepennya. Boleh minta twitter pembuatnya ga gan???
@AB_Perkasa
Posting Komentar